Memperbincangkan
masalah seksual dengan anak, bukan berarti
mengajari anak untuk melakukan seks bebas.
mengajari anak untuk melakukan seks bebas.
Masalah
seksual adalah bagian dari kehidupan manusia, berapa pun usianya.
Oleh karena itu, pendidikan seks perlu diajarkan pada anak sedini
mungkin. Masalahnya, masih banyak orang tua berpendapat, lambat
laun anak akan mengerti urusan seks tanpa harus melalui perbincangan
khusus. Seks sendiri masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk
dibicarakan secara terbuka.
Belum
lagi, muncul kesimpulan sepihak bahwa pendidikan seks yang diajarkan
sejak dini di negara-negara Barat ternyata tidak mampu melindungi
anak-anak dari seks pranikah. Sebaliknya, mereka yang setuju memberikan
pendidikan seks sedini mungkin pun seringkali masih bingung. Dari
mana harus memulainya?
SEBUAH
PILIHAN
Memang,
keputusan untuk memberikan atau tidak memberikan pendidikan seks
kepada anak sejak usia dini adalah sebuah pilihan bagi orang tua.
Namun, harus dipahami bahwa yang dinamakan pendidikan sudah seharusnya
tidak menyesatkan. Jangan dibayangkan, pendidikan seks melulu
berisi keterangan mengenai proses hubungan seksual. Pendapat itu
sama sekali salah.
Pendidikan
seks tidak bertujuan mendorong anak melakukan kegiatan seks. Tujuannya,
menumbuhkan kesadaran akan perlunya menjaga kesehatan organ reproduksi
dan perlunya membina relasi seksual yang sehat. Jadi, selama cara
dan materi yang disampaikan tepat, maka banyak manfaat yang akan
didapat.
Materi
pendidikan seks yang diberikan memang tak bisa lepas dari latar
belakang budaya yang mewarnai masyarakatnya. Pada masyarakat yang
menganut budaya seks pranikah, maka pendidikan seks yang diberikan
tidak bertujuan menekan angka seks bebas, melainkan melindungi
anak-anak supaya mereka mendapat informasi tentang seks yang aman
dan sehat secara medis. Tentu saja berbeda dengan tujuan yang
hendak dicapai di sini, yaitu mencegah perilaku seks pranikah
maupun seks di luar nikah.
Seperti
yang diungkapkan Dian Rismayanti, Psi. "Pendidikan seks sangatlah
luas, di antaranya mengajarkan anak untuk berperilaku sesuai gendernya,
pengenalan organ tubuh, bagaimana merawat dan menjaga kebersihan
organ reproduksinya, serta bagaimana melindungi diri dari pelecehan
seksual."
Lebih
lanjut psikolog dari Essa Consulting Group ini menegaskan, "Meski
materi yang disampaikan sama dengan bermacam sumber yang dimiliki
orang tua, tapi tentu saja penekanannya bisa berbeda. Jangan lupa,
ada batasan norma-norma, kebudayaan maupun agama yang dianut tiap
keluarga yang mempengaruhi tujuan pemberian pendidikan seks kepada
anak."
INFORMASI YANG TEPAT
Melalui pendidikan seks yang dimulai sejak usia dini, orang tua
jelas dapat memberikan informasi yang tepat sesuai perkembangan
anak. Contohnya, dengan berbekal pengetahuan mengenai fungsi organ
reproduksi, seorang anak perempuan akan siap menghadapi haid pertama,
atau saat pertama mendapat mimpi basah bagi anak laki-laki.
Pendidikan
seks akan lebih bermanfaat lagi pada kondisi sekarang ini, dimana
gelombang informasi begitu derasnya menerpa anak-anak. Dengan
beberapa kali klik di internet anak bisa mendapatkan gambar atau
informasi seksual yang menyesatkan. Begitu juga film biru dan
buku stensilan yang dengan mudahnya didapat di pasaran. "Padahal
sebagian besar informasi yang disuguhkan media tersebut tidak
dapat dipertanggungjawabkan," tandas Dian.
Informasi
salah yang seringkali didapat anak praremaja di antaranya adalah
peristiwa haid merupakan aib yang harus disembunyikan, ciuman
dapat mengakibatkan kehamilan, dan nanti setelah ia beranjak remaja
yaitu kesetiaan berarti harus menyerahkan keperawanan. Dengan
memberikan bahan yang tepat sebelumnya, orang tua berarti sudah
membentengi anak dari informasi-informasi yang tidak benar dan
bahkan menyesatkan. Ini berarti orang tua sudah meredusir dampak
negatif yang mungkin ditimbulkan.
GUNAKAN CONTOH KONKRET
Asal tahu saja, perbincangan mengenai seks dengan anak di bawah
3 tahun tidak membutuhkan waktu khusus. Namun untuk anak berusia
di atas 6 tahun sebaiknya dicarikan waktu yang enak. "Contoh
konkret dalam kehidupan sehari-hari dapat digunakan sebagi media.
Misalnya menjelaskan tentang dari mana dia datang dengan menunjukkan
tantenya yang sedang hamil."
Pilih
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami anak. Menggunakan nama
benda lain untuk menyebut organ intim, seringkali justru akan
membingungkan anak. Seperti misalnya menggunakan istilah "burung"
untuk menggantikan kata penis. Bagi anak umur 3 tahun, itu akan
membuatnya sedikit rancu. "Apakah sama 'burung' miliknya
dengan burung yang banyak beterbangan di kebun binatang?'"
Akhirnya,
keterbukaan orang tua dalam masalah seks akan membuat anak tidak
segan bertanya mengenai masalah tersebut. Dengan begitu anak tidak
akan memandang seks sebagai sesuatu yang kotor dan tabu dibicarakan.
Sekaligus, ia akan mendapat jawaban akurat dari sumber yang bisa
dipercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar