Sahabatku pUnkmore

Sahabatku pUnkmore
saHabat untuk sLamanya

Rabu, 30 November 2011

Asuhan Keperawatan Talasemia


TALASEMIA

A. KONSEP DASAR

1. DEFINISI
Talasemia merupakan sekelompok penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif yang berhubungan dengan defek sintesis rantai-hemoglobin.

Secara molekuler talasemia di klasifikasikan dalam dua kelompok utama sesuai rantai globin yang terkena; α-talasemia dan β-talasemia, yang masing-masing berhubungan dengan penurunan atau ketiadaan sintesis rantai-α dan rantai-β.

Sedangkan secara klinis dibedakan atas talasemia mayor dan minor.
 Talasemia Minor, kebanyakan pasien dengan talasemia minor tidak mempunyai gejala tetapi merupakan pembawa talasemia mayor. Namun kehamilan dapat menyebabkan anemia yang bermakna sehigga memerlukan terapi transfusi.
 Talasemia Mayor (Anemia Cooley), ditandai dengan anemia berat, hemolisis, dan produksi eritrosis (eritropoesis) yang tidak efektif.

2. ETIOLOGI

Anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.

3. PATOFISIOLOGI
Mengenai dasar kelainan pada talasemia berlaku secara umum yaitu kelainan talasemia alfa disebabkan oleh delesi gen (terhapus karena kecelakaan genetik) yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada talasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.

Individu normal yang mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan alfa thal 1 terletak pada bagian pendek kromoson 16 (aa/aa). Hilangnya 1 gen (silent carrier) tidak memberikan gejala klinis sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H) memberikan anemia moderat dan gambaran klinis talasemia alfa intermedia. Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat terganggu dan destruksi eritrosis lebih cepat. Delesi keempat gen alfa (homosigot alfa thal 1, Hb Barts hydrops fetalis) adalah tidak kompatibel dengan kehidupan akhir intra-uterin atau neonatal, tanpa transfusi darah.

Gen yang mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromoson 11. Pada talasemia beta, sisi pendek kromoson 11. Pada talasemia beta, mutasi gen disertai berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal.

Dibedakan dua golongan besar talasemia beta:
 Adanya produksi rantai beta (tipe beta plus).
 Tidak ada produksi rantai beta (tipe beta nol).

Defisit sintesis globin beta hampir paralel dengan defisit globin beta mRNA yang berfungsi sebagai template untuk sintesis protein.

Pada talasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi Hb A2 dan atau Hb F tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak daripada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis berlangsung tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.

Eritropoesis didalam sumsum tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstramedular hati dan limpa. Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan. Walaupun eritropoesis sangat giat hal ini tidak mampu mendewasakan eritrosit secara efektif.
Salah satu sebab mungkin karena presipitasi didalam eritrosit.
Pada kasus homosigot talasemia beta nol, sintesis rantai globin beta tidak ada. Sekitar 50% kasus-kasus ini globin beta mRNA dalam retikulosit dan sel eritrosit muda berkurang atau tidak ada. Mutasi gen pada talasemia beta bersifat sangat heterogen dan mencapai lebih dari 20 variasi genotip. Hal ini berbeda dengan talasemia alfa yang defek gennya akan homogenik. Gen-gen talasemia alfa 1, talasemia alfa 2, talasemia beta, Hb E dan Hb constant spring dapat bergabung dalam kombinasi yang berbeda-beda yang mengakibatkan suatu kompleks variasi sindrom talasemia dengan lebih dari 60 genotip yang disertai gejala yang bervariasi dari asimtomatik sampai letal seperti pada Hb Bart hydrops fetalis.

Kemajuan-kemajuan dalam mengungkapkan penyebab genetik molekular pada talasemia didukung oleh pemeriksaan restriction endonuklease digestion dan geneblotting studies. Namun demikian secara umum tidak dapat mendeteksi talasemia beta yang disebabkan karena mutasi nukleotida yang tunggal atau delesi yang minimal.

Talasemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit/ kelainan yang berdasarkan defek/kelainan hanya satu gen.

4. MANIFESTASI KLINIK
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.

Terdapat hepatosplenomegali, ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pansitopenia akibat hipersplenisme.

Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pankreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Anemia biasanya berat, dengan kadar hemoglobin (Hb) berkisar antara 3-9 g/dl. Eritrosit memperlihatkan anisositosis, poikilositosis, dan hipokromia berat. Sering ditemukan sel target dan tear drop cell. Normoblas banyak di jumpai terutama pasca splenektomi. Gambaran sumsum tulang memperlihatkan eritropoesis yang hiperaktif sebanding dengan anemianya. Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin. Petunjuk adanya talasemia alfa adalah ditemukannya Hb Bart’s dan Hb H. Pada talasemia beta kadar Hb F bervasiasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

6. PENATALAKSANAAN
Pemberian transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar 11 g/dL. Kadar Hb setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan didalam sumsum tulang dan juga mengurangi absorpsi Fe dari traktus digestivus. Sebaiknya darah transfusi tersebut tersimpan kurang dari 7 hari dan mengandung leukosit yang serendah-rendahnya. Jumlah SDM yang diberikan sebaiknya 10-20 ml/kg berat badan. Pasien dengan kadar Hb yang rendah untuk waktu lama, perlu ditransfusi dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit. Frekuensinya sebaiknya sekitar 2-3 minggu. Sebelumnya dan sesudah pemberian trasfusi ditentukan kadar Hb dan hematokrit. Berat badan perlu dipantau, paling sedikit 2 kali setahun.

Pemberian chelatin agents (Desferal) secara teratur membantu mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan dengan bantuan pompa kecil. Di samping Desferal kini ada chelating agent oral yaitu antara lain Desferiprone. Manfaatnya lebih rendah dari pada Desferal dan memberikan bahaya fibrosis hati.

Hanya pada 10 kasus dari 134 pasien talasemia di Rumah sakit Dr. Sutomo telah dilakukan splenektomi. Splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda-tanda hipersplenisme atau kebutuhan transfusi yang meningkat atau karena sangat besarnya limpa. Cara sederhana untuk membantu menentukan indikasi splenektomi adalah menghitung indeks derajat menurunnya Hb diantara 2 transfusi.

Pasca spelenektomi dokter perlu waspada terhadap infeksi. Pemberian antibiotik kadang-kadang perlu sebagai usaha pencegahan terutama apabila infeksi sering kambuh, misalnya dengan penisilin oral. Gambaran darah tepi tidak banyak berubah setelah splenektomi, sebaliknya sering tampak lebih banyak sel normoblas. Maka hidup eritrosit lebih baik daripada sebelum splenektomi.

Pasien talasemia major memerlukan bimbingan khusus dalam pendidikannya karena sering merasa rendah diri akibat kelainan fisik yang dialami dan hambatan-hambatan lain dalam pergaulan sosial.

Di kemudian hari, pengobatan talasemia beta mayor dengan trasplantasi sumsum tulang mungkin mendapat tempat utama. Pada saat ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus. Tetapi, apabila transplantasi sumsum tulang pada khasus tertentu, hal ini memberikan penyembuhan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
 Tumbuh kembang masa kehidupan anak terhambat.
 Tidak nafsu makan.
 Diare.
 Kehilangan lemak tubuh.
 Demam berulang akibat infeksi.
 Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
 Hepatosplenomegali, ikterus ringan.
 Perubahan pada tulang yang menetap (bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoesis yang hiperaktif).
 Penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki (mencegah Fraktur patologis)
 Epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu.
 Pansitopenia akibat hipersplenisme.
 Hemosiderosis (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder).
 Pankreas (diabetes).
 Hati (sirosis).
 Otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung).
 Perikardium (perikarditis).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan b/d anemia berat.
2. Risiko tinggi infeksi b/d transfusi.
3. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan nutrisi dari tubuh.
4. Risiko tinggi trauma b/d deformitas skelet.
5. Nyeri b/d produk-produk kimia.

III. INTERVENSI

1. Perubahan perfusi jaringan b/d anemia berat.
Tujuan : Menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.

Intervensi :
1) Kaji kulit untuk rasa dingin, pucat, sianosis, diaforesis, perlambatan pengisian kapiler.
R/ Perubahan menunjukkan penurunan sirkulasi/hipoksia yang meningkatkan oklusi kapiler.

2) Kaji perubahan warna pada kulit, perhatikan bagian ekstremitas bawah/tungkai.
R/ Penurunan sirkulasi perifer sering menimbulkan perubahan dermal dan perlambatan penyembuhan.

3) Pertahankan suhu lingkungan dan kehangatan tubuh.
R/ Mencegah vasokonstriksi; membantu dalam mempertahankan sirkulasi dan perfusi.

4) Awasi pemeriksaan laboratorium, mis: GDA, darah lengkap, AST (SGOT)/ALT (SGPT), CPK, BUN.
R/ Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan seperti otak, hati, limpa, ginjal, jantung, dan sebagainya dengan konsekuensi pelepasan enzim intraseluler.

2. Risiko tinggi infeksi b/d transfusi.
Tujuan : Tidak demam dan bebas dari pengeluaran/sekresi purulen, dan tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.

Intervensi :
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan.
R/ Mengurangi risiko kontaminasi silang.

2) Periksa adanya luka/lokasi alat invasif, perhatikan tanda-tanda inflamasi/infeksi lokal.
R/ Identifikasi/perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis.

3) Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi.
R/ Mengurangi risiko kemungkinan infeksi.

4) Pantau kecenderungan suhu.
R/ Demam disebabkan oleh efek-efek dari endotoksin pada hipotalamus dan endorfin yang melepaskan pirogen. Hipotermia adalah tanda-tanda genting yang merefleksikan perkembangan status syok/penurunan perfusi jaringan.

5) Pantau tanda-tanda penyimpangan kondisi/kegagalan untuk membaik selama masa terapi.
R/ Dapat menunjukkan ketidaktepatan/ketidakadekuatan terapi antibiotik atau pertumbuhan berlebihan dari organisme resisten/oportunistik.

6) Kolaborasi pemberian obat anti infeksi sesuai indikasi.
R/ Dapat membasmi/memberikan imunitas sementara untuk infeksi.

3. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan nutrisi dari tubuh.
Tujuan : Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari).

Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas/AKS normal, catat laporan kelelahan, keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas.
R/ Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.

2) Awasi TD, nadi, pernapasan, selama dan sesudah aktivitas. Catat respons terhadap aktivitas (mis: peningkatan denyut jantung/TD, disritmia, pusing, dispnea, takipnea, dan sebagainya).
R/ Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.

3) Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. Pantau dan batasi pengunjung, telepon, dan gangguan berulang tindakan yang tak direncanakan.
R/ Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.

4) Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
R/ Mempertahankan tingkat energi dan meningkatkan regangan pada sistem jantung dan pernapasan.

5) Gunakan teknik penghematan energi, mis: mandi dengan duduk, duduk untuk melakukan tugas-tugas.
R/ Mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan.

6) Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, napas pendek, kelemahan, atau pusing terjadi.
R/ Regangan/stress kardiopulmonal berlebihan/stres dapat menimbulkan dekompensasi/kegagalan.

4. Risiko tinggi trauma b/d deformitas skelet.
Tujuan : Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas skelet.

Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring/ekstremitas sesuai indikasi.
R/ Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi.

2) Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit.
R/ Posisi yang tepat dapat mencegah tekanan deformitas.

3) Dorong pasien untuk secara hati-hati memposisikan tungkai yang sakit.
R/ Mencegah ketidaknyamanan dan risiko cedera.

5. Nyeri b/d produk-produk kimia.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

Intervensi :
1) Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri.
R/ Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi.

2) Kontrol suhu lingkungan.
R/ Dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.

3) Pertahankan tirah baring sesuai program.
R/ Tirah baring mengurangi penggunaan energi dan membantu mengontrol nyeri dan mengurangi kontraksi otot.

4) Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.

5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
R/ Menghilangkan/membantu dalam manajemen nyeri.

IV. EVALUASI
1. Menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
2. Tidak demam dan bebas dari pengeluaran/sekresi purulen, dan tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.
3. Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari).
4. Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas skelet.
5. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.


DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta.

Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Oleh :
Uswatun Hasanah
10111546

Tidak ada komentar:

Posting Komentar